Judul Buku : Kosmologi Islam dan Dunia Modern: Relevansi Ilmu-Ilmu Intelektualisme Islam (Science of The Cosmos, Science of The Soul: ThePertinence of Islam Cosmology in The Modern World).
Penulis : William C. Chittick
Penerjemah : Arif Mulyadi
Penerbit : Mizan Publika
Tahun Terbit : Cetakan I, Oktober 2010
Tebal Buku : XV + 216 halaman
Harga Buku : Rp. 41.000,00
Kebangkitan Islam tidak cukup hanya dengan ditegakkannya hukum syariat atau pelabelan bahasa Arab semata . Kebangkitan Islam adalah umat Islam bergerak ke dalam dirinya sendiri, merenungkan kembali kehadiran manusia di dunia ini, bagaimana mereka memahami kosmos yang begitu luas ini dan dengan apa mereka memahaminya. Apakah tugas kaum Islam hanya untuk umat Islam saja ataukah memang umat Islam benar-benar sebagai umat yang rahmatan lil ‘alamin, memahayu hayuning bawono?. Jika ya, berarti umat Islam harus mampu memahami jagad gede dan jagad cilik yang telah di ciptakan Tuhan. Umat Islam harus manjadi mizan, penyeimbang antar keduanya, dan tidak begitu saja menyerahkan urusan kosmos ini hanya pada sains-sains yang telah mapan tanpa ada tahqiq, koreksi ulang.
Bagaimana caranya? Berpikir, ya dengan berpikir manusia akan memahami esensi dirinya, mikrocosmos dan esensi alam semesta, makrokosmos ini. Tuhan telah memberi akal dan pikiran. Bukan hanya itu, banyak ayat-ayat al-Qur’an, Tuhan telah memerintahkan mereka untuk berpikir dan menggunakan akal mereka. Untuk berpikir dengan benar-benar, seseorang harus benar-benar berpikir, yakni bahwa kesimpulan-kesimpulan harus dicapai dengan perjuangan intelektualnya sendiri, bukan melalui orang lain.
Kegiatan berpikir merupakan aktivitas yang membawa masa Islam mencapai masa keemasannya. Tetapi sangat disayangkan, aktivitas berpikir itu untuk sekarang ini cenderung mandek, kalaupun ada umumnya aktivitas yang sepotong-potong. Ada semacam perpecahan dalam memahami kosmos: kosmos dibedah hanya dengan “pisau sains” semata sedangkan “pisau agama” hanya sebatas pembedah kegiatan rutinitas ritual semata. Saat ini diperlukan benang untuk merajut mikrocosmos dan makrocosmos agar tercapainya kesatuan yang utuh, inilah yang disebut dengan konsep tauhid (adanya kesatuan).
Kiranya naif untuk membayangkan bahwa siapapun bisa mempelajari bagaimana cara berpikir Islami hanya dengan menghadiri kuliah-kuliah sekali dalam seminggu atau dengan membaca sejumlah buku yang ditulis dan disusun oleh para pemuka Muslim kontemporer, atau dengan mempelajari al-Qur’an atau dengan mendirikan shalat dan mempunyai keimanan yang teguh. Dalam dunia Islam pramodern, etos Islami ada di mana-mana, namun para pemikir dan intelektual besar tetap menghabiskan seluruh kehidupan mereka untuk mencari pengetahuan tentang Tuhan, kosmos, dan jiwa secara lebih mendalam. Menurut mereka, pencarian akan pemahaman adalah tugas yang tidak pernah berakhir.
Banyak ilmuwan Muslim mengatakan kepada kita bahwa sains-sains modern membantu mereka melihat keajaiban-keajaiban ciptaan Tuhan, dan jelas ini argumen untuk mengutamakan ilmu-ilmu alam di atas ilmu-ilmu sosial. Namun, apakah penting mempelajari fisika atau biokimia guna menyaksikan tanda-tanda Tuhan dalam semua makhlukNya?. Al-Qur’an terus menerus mengatakan kepada kaum muslim, “Apakah engkau tidak merenungkan, tidakkah engkau memikirkan, tidakkah engkau berpikir?” tentang tanda-tanda yang ditemukan, seperti dalam lebih dua ratus ayat al-Qur’an yang mengingatkan kita, dalam segala hal, terutama gejala-gejala alam. Tak perlu ilmuwan besar, ataupun ilmuwan apa saja, untuk memahami bahwa dunia berbicara lantang tentang keagungan Sang Penciptanya.
Willian C. Cittick menuliskan bahwa bahaya terbesar dari perlawanan terhadap yang sedimikian umum di kalangan Muslim modern adalah mereka menerima tuhan-tuhan kebaruan tanpa memberikan pemikiran atas apa yang tengah mereka pikirkan. Mereka ingin menetapkan identitas kemusliman mereka, tetapi mereka membayangkan bahwa untuk melakukan hal ini, cukuplah untuk bersumpah setia mereka pada al-Qur’an dan sunnah dan mengabaikan para penafsirnya.
Ada anggapan bahwa kita banyak tahu tentang dunia dari pada orang-orang di masa dulu, karena ‘kita’ mempunyai sains. Celakanya kita tidak tahu tentang tujuan-tujuan dan metode-metode sains dan tidak tahu apa-apa tentang tradisi intelektual Islam. Kita hanya peniru buta dalam masaalah-masalah intelektual, yakni pada level yang kita seharusnya berjuang keras untuk pemahaman kita sendiri. Yang terburuk ini adalah peniruan selektif, karena hanya menerima otoritas para “saintis” dan para “pakar”, bukan otoritas para pemikir Muslim besar di masa lalu. Jika Einstein mengatakan A, itu pasti benar, namun jika al-Ghazali atau Mulla Sadra berkata A, maka itu belum tentu benar, karena tidak ilmiah.
Buku ini setidaknya menjadi pemantik api jiwa setiap muslim agar segera mengobarkan intelektual mereka yang selama ini padam. Predikat khoiru ummatin, umat terbaik, yang Allah sematkan perlu dibuktikan agar Tuhan tidak kecewa. Dan yang terpenting adalah aktivatas intelektual dalam memahami kosmos ini harus segera dibenahi, direvolusi paradigmanya: memahami kosmos tak cukup hanya dipahami dengan sains alam semata, tetapi juga dengan sains jiwa karena alam semesta dan isinya bersifat organismik bukan atomistik yang terbelah-belah.
0 komentar:
Posting Komentar